Bahasa Indonesia Bermasalah Saat Beli Mie Ayam


Kesederhanaan Bahasa Indonesia

Saya pernah mengalami beberapa permasalahan terkait dengan pemakaian singular-plural dalam bahasa Indonesia. Kita perlu mengetahui bahwa aturan singular-plural dalam bahasa Indonesia sangat lah sederhana dan, menurut saya, jauh lebih sederhana daripada aturan dalam bahasa-bahasa lain.

Lebih lanjut lagi, jika kita melihat dalam permasalahan seperti gender dan tenses, bahasa Indonesia sangat sederhana. Banyak kata-kata benda yang berkelamin netral dan umum daripada kata benda berkelamin laki-laki dan perempuan. Misalkan, dalam bahasa Inggris, kita mengenal Headmaster dan Headmistress. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia cukup Kepala Sekolah.

Kembali ke pengalaman saya yang berkaitan dengan singular-plural,

Permasalahan dengan Bahasa Indonesia

Ketika itu, saya mau membayar Mie Ayam dan saya bilang, "mie so, es teh 2". Maksud saya saat itu adalah saya membeli 1 mie so dan 2 es teh tetapi penjualnya mengira 2 mie so dan 2 es teh. Saya pikir, saya tidak salah dengan mengatakan hal seperti itu dan penjual juga tidak salah memahaminya. Kesalahan sepertinya ada di kelemahan Bahasa Indonesia itu sendiri.

Kita bisa melihat bahwa bahasa Indonesia lebih ambigu untuk permasalahan ini. Coba misalkan jika kita memiliki bentuk jamak yang lebih ketat seperti bahasa Inggris, kita akan mengatakan a mie-so and two glasses of ice tea. Akan lebih jelas perbedaan jumlah antara antara satu dengan yang lebih dari satu.

Lebih lanjut lagi, jika kita melihat bahasa Arab misalnya. Membedakan antara satu, dua, dan tiga lebih tentu akan lebih mudah lagi.

Keterbatasan Bahasa

Dosen saya, Pak Sudarmin, di Fakultas Sastra Inggris, UNHAS, pernah bercerita tentang pengalamannya bagaimana ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan oleh bahasa tertentu. Pengalaman ini ketika dia membantu seorang Bugis/Makassar (saya lupa). Orang tersebut tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya karena tidak ada ungkapan di bahasanya bagaimana cara mengungkapkan hal ini.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa disamping memiliki keunikan masing-masing, bahasa juga memiliki kekurangan atau dengan kata lebih tepatnya, melihat sesuatu dengan berbeda. Bahasa Indonesia dengan keterbatasan pada permasalahan plural-singular, terkadang membutuhkan konteks lebih, koreksi, atau alat lain untuk memberikan kejelasan. Begitu juga dengan kasus orang Bugis/Makassar tersebut, ada suatu hal yang tidak dapat dijelaskan atau mungkin memang tidak dipandang sebagai suatu entitas* tersendiri.

*) entitas adalah sesuatu yang memiliki sifat dan karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan yang lainnya

Kesimpulan

Aturan bahasa yang semakin kompleks tampaknya memang bisa membuat kita akan lebih mudah untuk memahami konteks. Sebaliknya, bahasa yang lebih sederhana akan menghasilkan banyak hal yang lebih ambigu. Atau mungkin lebih tepatnya bukan ambigu tetapi adalah membutuhkan konteks atau informal link yang lebih.

Ketatnya Bentuk Waktu (Tenses)

Tidak heran memang jika dalam bahasa Indonesia yang tidak ketat berkenaan dengan tenses, kita seringkali tidak menggunakan pembeda waktu dalam berbicara. Kita tidak perlu berkata saya telah makan tadi pagi, kita hanya perlu mengatakan saya makan tadi pagi. Hal ini bisa jadi juga mempengaruhi pikiran kita tentang waktu sehingga kebanyakan kita memang tidak terlalu ketat dalam permasalahan waktu jika dibandingkan dengan penutur bahasa Inggris misalnya.

Catatan

Tulisan ini tidak berdasarkan pada penelitian ya. Penulis hanya melihat sepertinya ada keterkaitan dengan relativisme bahasa dalam apa yang penulis alami.